
Setiap tahun ajaran baru tiba, perbincangan mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu menghangatkan ruang publik, terutama terkait sistem zonasi. Janji pemerintah untuk menciptakan pemerataan akses pendidikan dan mengurangi kesenjangan kualitas antar sekolah kerap terbentur oleh berbagai permasalahan di lapangan. Dari indikasi praktik kecurangan, manipulasi data kependudukan, hingga ketidakmerataan fasilitas pendidikan, sistem zonasi yang idealnya menjadi solusi justru menjadi sumber polemik yang tak berkesudahan bagi banyak orang tua dan calon siswa di seluruh Indonesia.
Sejarah dan Tujuan Sistem Zonasi
Sistem zonasi dalam PPDB mulai diterapkan secara nasional sejak tahun 2017 dan diperkuat melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018, yang kemudian direvisi menjadi Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Tujuan utamanya mulia: menghilangkan favoritisme terhadap sekolah-sekolah tertentu (sekolah “unggulan”), memastikan setiap anak mendapatkan hak pendidikan di dekat tempat tinggalnya, serta mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas semua sekolah secara merata, bukan hanya di pusat kota atau di sekolah yang menjadi favorit. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi dikotomi sekolah favorit dan non-favorit, dan semua sekolah memiliki standar yang setara. Mekanisme ini dirancang untuk memaksa pemerataan kualitas guru, fasilitas, dan kurikulum, sehingga lokasi tempat tinggal tidak lagi menjadi penentu utama kualitas pendidikan yang diterima siswa.
Polemik dan Kesenjangan dalam Implementasi
Namun, dalam implementasinya, sistem zonasi menghadapi berbagai tantangan kompleks yang kerap menimbulkan gejolak sosial. Salah satu isu paling mencolok adalah dugaan praktik kecurangan dan manipulasi data. Banyak laporan muncul tentang orang tua yang secara sengaja mengubah alamat Kartu Keluarga (KK) atau bahkan membuat KK baru di sekitar area sekolah yang diinginkan, meskipun secara faktual tidak tinggal di lokasi tersebut. Fenomena “titip-menitip” atau perpindahan KK fiktif ini merusak esensi zonasi dan menimbulkan ketidakadilan yang mendalam bagi calon siswa yang benar-benar berdomisili di zona tersebut. Dampaknya, persaingan menjadi tidak sehat dan kesempatan siswa yang jujur untuk diterima di sekolah terdekatnya menjadi tergerus. Selain itu, kesenjangan kualitas antar sekolah yang masih nyata menjadi faktor pendorong utama orang tua mencari celah. Sekolah-sekolah di daerah pinggiran atau yang memiliki fasilitas minim seringkali masih kalah jauh dibandingkan sekolah di pusat kota yang sudah dilengkapi dengan sarana prasarana yang memadai serta guru-guru berkualitas dan berpengalaman. Hal ini menciptakan dilema bagi orang tua: apakah harus mematuhi sistem zonasi dan mengorbankan apa yang mereka anggap sebagai kualitas pendidikan anaknya, atau mencari cara agar anaknya bisa masuk ke sekolah yang lebih baik. Ketimpangan jumlah daya tampung sekolah dengan jumlah calon siswa di suatu zona juga menjadi masalah klasik, mengakibatkan banyak siswa berprestasi sekalipun kesulitan mendapatkan tempat di sekolah negeri terdekat, sementara bangku kosong di sekolah lain yang dianggap “kurang favorit” tak terisi. Situasi ini memicu protes dan demonstrasi setiap tahunnya, menunjukkan betapa runyamnya persoalan ini di tingkat akar rumput.
Mencari Solusi Berkelanjutan
Untuk mengatasi polemik zonasi, diperlukan pendekatan multisektoral dan terintegrasi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pertama, pemerintah daerah harus serius dalam melakukan pemerataan kualitas pendidikan. Ini berarti tidak hanya alokasi anggaran yang lebih adil untuk renovasi fasilitas, pengadaan alat belajar modern, dan peningkatan kompetensi guru di semua sekolah, tetapi juga memastikan distribusi guru-guru berkualitas secara merata. Program pengembangan profesional guru harus menyentuh seluruh sekolah, tidak hanya yang di pusat kota. Kedua, pengawasan yang lebih ketat terhadap proses PPDB, termasuk verifikasi data kependudukan secara berlapis, sangat krusial untuk mencegah kecurangan. Kolaborasi aktif antara Dinas Pendidikan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, serta aparat penegak hukum dapat memperkuat pengawasan ini, bahkan dengan sistem audit acak terhadap data pendaftar. Ketiga, perlu adanya edukasi yang masif dan berkelanjutan kepada masyarakat tentang tujuan dan manfaat zonasi, serta konsekuensi hukum dan etika dari praktik manipulasi data. Sosialisasi harus dilakukan jauh sebelum masa pendaftaran dimulai. Transparansi data PPDB secara real-time, yang mudah diakses dan dipahami publik, juga dapat membantu meminimalisir praktik curang dan membangun kepercayaan masyarakat. Terakhir, dialog terbuka dan partisipatif antara pemerintah, pakar pendidikan, perwakilan orang tua, dan organisasi masyarakat sipil perlu terus dilakukan secara berkala untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem ini agar benar-benar dapat mencapai tujuannya, yaitu pemerataan akses dan kualitas pendidikan yang adil dan berkeadilan bagi seluruh anak bangsa tanpa terkecuali.
"Sistem zonasi adalah kebijakan yang benar dengan tujuan yang mulia, tetapi implementasinya masih membutuhkan banyak perbaikan. Kunci keberhasilannya ada pada pemerataan kualitas pendidikan dan integritas data kependudukan. Tanpa itu, zonasi hanya akan menjadi lingkaran masalah tahunan." – Prof. Dr. Bima Arya, Pakar Kebijakan Pendidikan.
- Sistem zonasi PPDB bertujuan untuk pemerataan akses dan kualitas pendidikan, serta menghilangkan dikotomi sekolah favorit.
- Implementasi zonasi menghadapi tantangan seperti dugaan kecurangan manipulasi data KK dan kesenjangan kualitas antar sekolah.
- Praktik "titip-menitip" KK dan ketidakmerataan fasilitas pendidikan menjadi pemicu utama polemik.
- Solusi berkelanjutan membutuhkan pemerataan kualitas sekolah, pengawasan ketat data kependudukan, edukasi masyarakat, dan transparansi proses PPDB.
- Dialog terbuka antara pemangku kepentingan sangat penting untuk terus mengevaluasi dan menyempurnakan sistem zonasi.