
Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia pada tahun ajaran 2024/2025 telah memicu gelombang protes dari kalangan mahasiswa dan menjadi sorotan publik. Kebijakan ini, yang sebagian besar dinilai mendadak dan tidak transparan, menimbulkan kekhawatiran serius mengenai aksesibilitas pendidikan tinggi yang semakin mahal, terutama bagi keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah yang selama ini mengandalkan PTN sebagai jalur utama pendidikan berkualitas.
Gelombang Protes dan Intervensi Pemerintah
Penetapan kenaikan UKT yang signifikan di beberapa PTN, dengan persentase mencapai puluhan hingga ratusan persen dari skema sebelumnya, sontak menuai reaksi keras dari mahasiswa di berbagai daerah. Demonstrasi, petisi daring, dan diskusi publik bermunculan, menyuarakan tuntutan untuk pembatalan kebijakan yang dianggap memberatkan. Mahasiswa berpendapat bahwa pendidikan adalah hak dasar yang semestinya dijamin oleh negara, bukan komoditas yang harganya terus melambung tanpa pertimbangan kemampuan ekonomi rakyat.
Tekanan publik yang kuat ini akhirnya mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk mengambil tindakan. Melalui pernyataan resminya, Menteri Nadiem Makarim akhirnya menginstruksikan pembatalan dan peninjauan ulang seluruh kenaikan UKT yang telah ditetapkan untuk tahun ajaran baru. Keputusan ini disambut baik sebagai langkah responsif pemerintah, namun sekaligus menyisakan pertanyaan besar tentang mekanisme penetapan UKT di masa depan yang lebih adil dan transparan, serta bagaimana evaluasi menyeluruh dapat dilakukan agar kasus serupa tidak terulang.
Akar Masalah dan Argumentasi Kampus
Di balik keputusan untuk menaikkan UKT, pihak kampus seringkali mengemukakan alasan terkait kebutuhan peningkatan kualitas fasilitas, pengembangan kurikulum yang relevan dengan perkembangan zaman, hingga biaya operasional yang terus meningkat. Beberapa PTN juga berargumen bahwa anggaran dari pemerintah melalui Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dinilai belum mencukupi untuk menopang seluruh kebutuhan operasional dan pengembangan akademik. Selain itu, ada pula pandangan bahwa kenaikan UKT diperlukan untuk mengejar standar pendidikan global dan menjaga daya saing universitas di tingkat internasional.
Namun, argumentasi ini kerap dibantah oleh mahasiswa dan pengamat pendidikan. Mereka menyoroti kurangnya transparansi dalam perhitungan biaya operasional dan penggunaan dana UKT. Pertanyaan mengenai efisiensi pengelolaan anggaran kampus serta sumber-sumber pendanaan alternatif juga seringkali dipertanyakan. Kritik utama lainnya adalah bahwa kenaikan UKT justru berpotensi menggerus inklusivitas pendidikan, di mana hanya segelintir kalangan yang mampu mengakses pendidikan tinggi berkualitas, bertentangan dengan semangat reformasi pendidikan untuk pemerataan akses.
Tantangan Menjaga Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan
Polemik kenaikan UKT ini mencerminkan tantangan krusial yang dihadapi sistem pendidikan tinggi di Indonesia: bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan finansial universitas untuk menjaga dan meningkatkan kualitas, dengan prinsip aksesibilitas yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Jika beban pembiayaan pendidikan terus dialihkan kepada mahasiswa dan keluarga, dikhawatirkan akan terjadi eksklusi sosial. Mahasiswa dari keluarga prasejahtera atau menengah rentan putus asa dalam mengejar cita-cita pendidikan tinggi, yang pada gilirannya dapat memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi di masa depan.
Di sisi lain, tanpa dukungan finansial yang memadai, PTN juga akan kesulitan berinovasi, mengembangkan riset, dan bersaing di kancah global. Oleh karena itu, diperlukan formulasi kebijakan yang komprehensif, melibatkan semua pihak—pemerintah sebagai regulator dan penyedia anggaran, kampus sebagai penyelenggara, mahasiswa sebagai penerima manfaat, dan masyarakat sebagai pemangku kepentingan—untuk mencari solusi jangka panjang yang berkelanjutan. Solusi tersebut harus mampu menjamin pendanaan yang cukup bagi universitas tanpa mengorbankan hak fundamental setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas, serta dengan mekanisme UKT yang adil dan berkeadilan sosial.