
Perekonomian Indonesia, khususnya sektor pangan, terus menghadapi tantangan signifikan akibat perubahan iklim global yang kian tak menentu. Fenomena El Nino yang berkepanjangan pada tahun lalu, disusul potensi dampak La Nina, telah menciptakan gejolak pada produksi komoditas utama seperti beras, memicu kenaikan harga, dan menguji ketahanan pangan nasional. Pemerintah dan petani dihadapkan pada urgensi untuk menemukan solusi adaptif demi menjamin ketersediaan pangan yang stabil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Produksi Beras di Tengah Gempuran Fenomena Iklim
Musim tanam dan panen di Indonesia tak lagi bisa diprediksi dengan mudah. Tahun 2023 menjadi saksi bisu bagaimana El Nino menyebabkan kekeringan di berbagai wilayah sentra produksi, menunda masa tanam, dan pada akhirnya menurunkan produktivitas panen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan produksi beras nasional yang cukup signifikan, yang secara langsung berdampak pada ketersediaan stok di pasar. Akibatnya, harga beras merangkak naik, memberatkan beban belanja rumah tangga, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah. Situasi ini diperparah dengan ketergantungan pada beberapa komoditas pokok saja, menjadikan sektor pangan rentan terhadap fluktuasi iklim.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Bulog telah berupaya menstabilkan pasokan dengan mengoptimalkan sisa panen, serta melakukan impor beras dari negara-negara produsen seperti Thailand, Vietnam, dan India. Impor ini, meski seringkali menimbulkan pro-kontra, dianggap sebagai langkah darurat untuk mengisi defisit pasokan di pasar domestik dan menekan laju inflasi pangan. Namun, ketergantungan pada impor jangka panjang bukanlah solusi berkelanjutan, mengingat dinamika harga komoditas global dan isu kedaulatan pangan. Petani juga merasakan dampak langsung dari perubahan iklim ini, mulai dari kerugian gagal panen hingga kenaikan biaya produksi akibat sulitnya mendapatkan air atau serangan hama yang lebih masif. Oleh karena itu, diperlukan strategi komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pasokan, tetapi juga pada peningkatan resiliensi petani.
Strategi Adaptasi dan Stabilisasi Harga Jangka Panjang
Menyikapi tantangan ini, pemerintah telah merancang berbagai strategi untuk memperkuat ketahanan pangan. Salah satunya adalah program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang digencarkan oleh Bulog melalui penyaluran beras medium ke pasar-pasar tradisional. Operasi pasar yang masif ini diharapkan dapat meredam lonjakan harga dan memastikan ketersediaan pasokan yang terjangkau. Selain itu, penyaluran bantuan pangan berupa beras gratis kepada kelompok rentan juga menjadi bantalan sosial yang penting untuk mengurangi dampak kenaikan harga pada masyarakat miskin.
Namun, fokus tidak hanya pada intervensi pasar jangka pendek. Investasi pada infrastruktur pertanian, seperti rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi, menjadi kunci untuk mengurangi ketergantungan pada air hujan dan meningkatkan produktivitas lahan. Penerapan teknologi pertanian modern, seperti penggunaan benih unggul tahan iklim, sistem pertanian presisi, dan mekanisasi pertanian, juga harus terus didorong. Diversifikasi pangan, yaitu mengurangi ketergantungan pada beras dan mendorong konsumsi pangan lokal lainnya seperti jagung, sagu, ubi, dan sorgum, juga merupakan langkah strategis untuk memperkuat ketahanan pangan di tingkat regional. Edukasi kepada masyarakat tentang pola konsumsi yang beragam serta dukungan kepada petani lokal untuk mengembangkan komoditas non-beras menjadi sangat krusial.
Pemerintah juga berupaya memperkuat data dan sistem peringatan dini terkait iklim dan pertanian. Dengan informasi yang akurat dan tepat waktu, petani dapat merencanakan musim tanam dengan lebih baik, sementara pemerintah dapat mengambil kebijakan intervensi yang lebih efektif. Kolaborasi antara berbagai kementerian/lembaga, pemerintah daerah, sektor swasta, dan komunitas petani menjadi esensial untuk mewujudkan sistem pangan yang tangguh dan adaptif terhadap perubahan iklim.
“Tantangan ketahanan pangan saat ini tidak hanya soal mencukupi kebutuhan hari ini, tetapi juga bagaimana kita membangun fondasi yang kuat agar produksi berkelanjutan, harga stabil, dan distribusi merata di tengah ancaman perubahan iklim yang nyata. Adaptasi teknologi dan diversifikasi pangan adalah kuncinya.”
— Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung
- Fenomena El Nino tahun lalu berdampak signifikan terhadap produksi beras nasional, menyebabkan penurunan panen dan kenaikan harga komoditas pangan.
- Pemerintah berupaya menstabilkan pasokan dan harga melalui impor, program SPHP, dan bantuan pangan, namun solusi jangka panjang diperlukan.
- Investasi pada infrastruktur irigasi, adopsi teknologi pertanian modern, dan pengembangan benih unggul tahan iklim menjadi prioritas untuk meningkatkan produktivitas.
- Diversifikasi pangan dan pengurangan ketergantungan pada satu komoditas pokok didorong untuk membangun ketahanan pangan yang lebih tangguh.
- Kolaborasi multipihak dan sistem peringatan dini yang akurat merupakan elemen krusial dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor pertanian.