
Fenomena iklim global seperti El Nino dan La Nina terus menjadi sorotan utama, terutama dampaknya terhadap sektor pangan dan pertanian di Indonesia. Setelah periode El Nino yang menyebabkan kekeringan panjang di beberapa wilayah, kekhawatiran kini beralih pada potensi La Nina atau fluktuasi cuaca ekstrem yang bisa membawa curah hujan berlebih, mengancam produksi pangan, dan memperlebar risiko ketidakstabilan harga komoditas utama. Kondisi ini menuntut kesiapsiagaan multi-sektoral untuk menjaga pasokan dan daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian iklim.
Dampak Nyata pada Sektor Pertanian dan Perikanan
El Nino yang baru saja berlalu meninggalkan jejak berupa penurunan produksi di beberapa komoditas pertanian vital seperti padi, jagung, dan kedelai. Kekeringan ekstrem mengakibatkan puso (gagal panen) di lahan-lahan tadah hujan, sementara irigasi yang minim memperparah kondisi. Para petani menghadapi kerugian besar, yang secara langsung berdampak pada pasokan nasional. Di sisi lain, potensi La Nina dengan curah hujan tinggi yang berujung banjir juga sama mengkhawatirkannya, dapat merusak tanaman yang sedang tumbuh, menghambat proses panen, dan mengganggu distribusi.
Sektor perikanan juga tidak luput dari imbas perubahan iklim. Pola migrasi ikan dapat berubah akibat suhu permukaan laut yang tidak stabil, mempersulit nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan. Banjir juga dapat mencemari tambak-tambak ikan air tawar, menyebabkan kerugian bagi pembudidaya. Kondisi ini pada akhirnya berujung pada potensi kenaikan harga bahan pangan di pasar, membebani rumah tangga, terutama kelompok masyarakat rentan.
Strategi Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah
Menyikapi ancaman ini, pemerintah telah dan terus menggalakkan berbagai program mitigasi dan adaptasi. Salah satu fokus utama adalah optimalisasi sistem irigasi, pembangunan embung-embung, serta revitalisasi saluran air untuk memastikan ketersediaan air yang cukup, baik saat musim kemarau maupun untuk mengendalikan banjir. Program pompanisasi untuk mengairi lahan pertanian juga menjadi prioritas.
Selain infrastruktur, pemerintah juga mendorong penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap kondisi ekstrem, baik kekeringan maupun genangan. Edukasi kepada petani mengenai kalender tanam yang adaptif terhadap perubahan iklim, asuransi pertanian, dan akses permodalan juga terus ditingkatkan. Untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga, kebijakan impor beras menjadi salah satu opsi jangka pendek, meski sering menuai pro dan kontra. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berperan vital dalam menyediakan informasi prakiraan cuaca yang akurat dan peringatan dini kepada petani dan masyarakat.
Peran Komunitas dan Inovasi Lokal dalam Menghadapi Iklim Ekstrem
Selain upaya pemerintah, inisiatif dari komunitas lokal dan inovasi akar rumput juga memegang peranan krusial. Banyak petani yang secara mandiri mulai menerapkan praktik pertanian adaptif iklim, seperti penggunaan pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah dan retensi air, serta sistem tumpang sari untuk diversifikasi risiko. Pengembangan pertanian presisi dengan memanfaatkan teknologi sederhana untuk pemantauan cuaca mikro dan kondisi tanah juga mulai diadopsi.
Kelompok tani di berbagai daerah juga aktif dalam bertukar informasi dan pengalaman, serta membangun lumbung pangan desa untuk menjaga cadangan pangan lokal. Pendekatan berbasis kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti sistem subak di Bali atau sasi di Maluku, yang terbukti tangguh menghadapi perubahan lingkungan, juga kembali menjadi sorotan sebagai model adaptasi yang berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan komunitas petani menjadi kunci untuk membangun ketahanan pangan yang lebih tangguh di masa depan.
“Ancaman perubahan iklim terhadap ketahanan pangan adalah nyata dan kompleks. Kita tidak bisa hanya bereaksi, tapi harus proaktif dalam membangun sistem pertanian yang tangguh dan adaptif. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi kolaborasi seluruh elemen bangsa, dari petani hingga konsumen.” – Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo, Pakar Pertanian dan Lingkungan
- Fenomena iklim ekstrem seperti El Nino dan La Nina secara signifikan mengancam ketahanan pangan Indonesia melalui dampak pada sektor pertanian dan perikanan.
- Penurunan produksi pangan akibat kekeringan dan potensi banjir dapat memicu kenaikan harga komoditas dan membebani masyarakat.
- Pemerintah mengimplementasikan strategi mitigasi dan adaptasi melalui infrastruktur irigasi, varietas unggul, kalender tanam, dan peringatan dini.
- Inisiatif komunitas lokal dan inovasi pertanian adaptif iklim berperan penting dalam memperkuat ketahanan di tingkat petani.
- Kolaborasi multipihak, dari pemerintah hingga masyarakat, menjadi kunci utama untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan di tengah tantangan perubahan iklim global.